RMOL. Mantan Hakim Mahkamah
Konstitusi Haryono kembali menyatakan kisruh di tubuh Partai Golkar harus
dikembalikan kepada putusan Mahkamah Partai Golkar.
Kepastian hukum diperlukan yaitu siapa diantara
salah satu pihak adalah pengurus yang sah. Jalan melalui arbitrase masih
memerlukan kesediaan kedua belah pihak karena arbitrase biasanya bersifat ad
hoc dan perlu penunjukan arbitrator oleh kedua pihak. Mahkamah partai politik
merupakan mekanisme terakhir apabila cara opsional tidak mungkin ditempuh lagi
oleh kedua belah pihak dengan demikian apa pun hasilnya putusan mahkamah parpol
haruslah diterima karena UU memberi sifat final putusan tersebut, res juricata
facit ius, kata maxim atau adagium hukum.
"UU memberikan kedudukan kepada Mahkamah partai politik sebagai lembaga peradilan meskipun Mahkamah parpol tetap otonom lembaga internal partai," ujar Haryono saat dimintai pendapat soal penyelesaian kasua sengketa kepengurusan Partai Golkar, Rabu (6/5).
Menurutnya, pemberian kewenangan sebagai lembaga peradilan dalam sebuah organisasi yang otonom bukanlah hal yang dilarang oleh UUD. Dari sudut pandang mekanisme penyelesaian sengketa, cara demikian dipandang lebih adil dan efisien karena diputuskan dalam komunitasnya sendiri tanpa ikut campurtangannya pihak luar termasuk negara. UU pernah mengakui keberadaan pengadilan adat adalah contoh pemberian kewenangsan otonom untuk penyelesaian perselisihan yang tidak selalu dilakukan oleh peradilan negara. Demikian halnya penyelesaian di luar peradilan dengan cara arbitrase dimana negara mengakui dan memberikan kekuatan eksekutorial.
Apabila sifat finalitas keputusan mahkamah partai
dipermasalahkan secara hukum, artinya apakah sebuah lembaga internal parpol
mempunyai kewenangan yang sama dengan kewenangan peradilan negara yang
putusannya bersifat final, maka hal ini tidak menjadi kewenangan PTUN melainkan
menjadi masalah konstitusionalitas sebuah UU yang menjadi kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk memutuskannya.
"Putusan Mahmakah Partai Politik haruslah juga
sebagai putusan paksa pengadilan. Hal ini menurut Ahli telah tercermin dalam
sifat finalitas dari putusan mahkamah tersebut," jelasnya.
Peradilan negara dalam kasus ini PTUN tidak berwenang untuk menguji putusan Mahmamah partai karena kuasa UU lah yang memberi sifat final putusan mahkamah partai sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 UU No 2/2011, selain itu putusan mahkamah partai bukan merupakan sebuah KTUN. Karena bukan KTUN putusannya secara hipotetis potensi untuk diuji oleh peradilan lain. Dengan demikian secara hipotetis akan terjadi sengketa kewenangan antar peradilan apabila PTUN menguji keputusan mahkamah partai.
Peradilan negara dalam kasus ini PTUN tidak berwenang untuk menguji putusan Mahmamah partai karena kuasa UU lah yang memberi sifat final putusan mahkamah partai sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 UU No 2/2011, selain itu putusan mahkamah partai bukan merupakan sebuah KTUN. Karena bukan KTUN putusannya secara hipotetis potensi untuk diuji oleh peradilan lain. Dengan demikian secara hipotetis akan terjadi sengketa kewenangan antar peradilan apabila PTUN menguji keputusan mahkamah partai.
Putusan mahkamah partai dalam kasus a quo merupakan
putusan einmalig yang menurut ahli dapat dipadankan dengan putusan sekali
tuntas yaitu suatu keputusan yang tidak memerlukan perbuatan hukum lanjutan
karena yang diputus adalah status hukum kepengurusan yang
alternatifnya sah atau tidak sah dan bukan keputusan yang berisi kewajiban
untuk melakukan sesuatu.
Ahli berpendapat bahwa putusan sela yang dijatuhkan Majelis Hakim menimbulkan kekusutan hukum. Putusan Majelis menunda pelaksanaan keputusan Menteri Hukum HAM, sedangkan putusan Menteri Hukum HAM bersifat einmalig deklaratoir karena menyangkut status hukum yang tidak memerlukan pelaksanaan putusan, persoalannya perbuatan pelaksanaan apa yang perlu ditunda oleh Menteri Hukum HAM.
Status hukum kepengurusan pihak yang bersengketa
hanya dua alternatifnya sah atau tidak sah. Apakah putusan sela tersebut
menunda kesahan kepengurusan pihak Agung Laksono. Kalau itu menunda
kepengurusan Agung Laksono apakah itu dapat ditafsirkan sebagai mensahkan
kepengurusan Aburizal Bakri.
"Kalau pelaksanaan Keputusan Menteri ditunda
pelaksanaannya apakah hal itu hanya berarti bahwa pihak Agung Laksono saja yang
tidak boleh melakukan aktifitas atas dasar Kuputusan Menteri, sedangkan pihak
Aburizal Bakri tidak dilarang. Kalau maksud putusan sela adalah demikian apa
dasar hukumnya," tanyanya.
Putusan sela menunda pelaksanaaan Keputusan Menteri
Hukum dan HAM lalu bagaimana dengan Keputusan mahkamah partai bukankah
keputusan mahkamah partai mempunyai kekuatan hukum mengikat internal secara
final. (vide Pasal 32 (5) UU No 2/2011) . Putusan Majelis hakim PTUN menurut
ahli tidak mempertimbangkan Pasal tersebut. Kalau saja putusan sela bermaksud
memposisikan ke dua belah pihak dalam status quo mestinya posisi status quo
tersebut adalah status quo sebelum ada Keputusan Menteri, artinya status quo
setelah adanya putusan mahkamah partai yang bersifat final.
Kepengurusan Munas Bali tidak dapat secara otomatis
mengatasnamakan pengurus yang sah dengan legalitas sebagai pengurus sebelum
Munas meskipun susunan kepengurusannya mungkin sama persis karena dengan
mendasarkan alasan Munas Bali sah maka kepengurusan Golkar sebelum Munas telah
demisioner. Kalau posisi ini yang diambil dan kemudian majelis hakim akan
mengambil putusan akhir berdasarkan keadaan sebelum adanya putusan mahkamah
partai apakah kemudian PTUN berwenang untuk memutuskan perselisihan
tersebut, bukankah pintu masuk kewenangan PTUN karena adanya
keputusan Menteri.
Pertimbangan majelis hakim tidak dapat dilakukan secara umum abstrak dan atas dasar kekhawatiran subjektif belaka tetapi harus mempertimbangkan hal yang konkrit dan individual dari setiap perkara yang diperiksa.
Pertimbangan majelis hakim tidak dapat dilakukan secara umum abstrak dan atas dasar kekhawatiran subjektif belaka tetapi harus mempertimbangkan hal yang konkrit dan individual dari setiap perkara yang diperiksa.
Pilihan
Strategis bagi Golkar ke Depan
Disadari
atau tidak, sesungguhnya vonis Majelis Hakim Partai Golkar – beranggotakan 4
orang hakim – tidak ganjil — menerima sebagian permohonan kedua kubu yang
berselisih itu, adalah keputusan yang cerdik dan cerdas. Vonis itu seperti
membuang begitu saja bola panas ke Kemenkumham, selaku lembaga hukum positif.
Mahkamah partai, berupaya menggunakan palu pemerintah, untuk memutuskan
pemenangnya. Keputusan seri atau sama kuat ini, sesungguhnya tidak memberi
surprise apa-apa bagi pemerintahan Jokowi.
Begitu
juga terhadap wakilnya, Jusuf Kalla. Kecuali itu, vonis ini menambah lamanya
waktu penyelesaian konflik. Begitu juga terhadap peluang voice dan besar
kecilnya dampak keuntungan dari suatu kemelut partai sekelas Golkar. Belum
adanya keputusan final yang mengikat, menyebabkan energy para elite dan
kadernya kian terkuras. Ini tak cuma hanya di pusat, melainkan juga di daerah.
Yasin
Muhammad menjelaskan, keputusan MPG secara jelas menyatakan tidak ada yang
dimenangkan dan tidak ada yang dikalahkan. Karena itu jalan terbaik adalah
dengan islah dan menggelar Munas rekonsiliasi untuk kembali bersatu dan
membesarkan partai.
“Kubu
ARB dan Agung Laksono harus menempuh jalan islah demi kebesaran Golkar,”
sarannya.
Yasin
menghimbau, para tokoh senior Golkar seperti Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla,
juga mantan Presiden BJ Habibie untuk ikut mendamaikan kedua kubu yang terus
berseteru. “Jika konflik terus dikedepankan, Golkar yang akan merugi,” pungkas
Yasin.
Mari
kita bahas dalam ruang yang sempit ini, tentang untung dan ruginya partai
Golkar, jika pengadilan tingkat kasasi MA, memenangkan salah satu pihak yang
bertikai. Namun sebelum kita masuk pada bahasan itu, ada lebih baiknya, kita
lihat tentang partai tua ini.
Golkar
adalah partai besar, dengan segudang pengalaman di pemerintahan. Memiliki
ketajaman visi dan sumber daya yang handal di perpolitikan tanah air. Banyak
kalangan menilai, perpolitikan di Indonesia, tidak ada arti sama sekali, tanpa
adanya partai Golkar. Kader-kader partai tua ini, adalah pembaharu, meski
berada di lingkungan penguasa yang silih berganti. Itu sebabnya, kemelut yang
terjadi di tubuh partai ini, menjadi hal yang menarik untuk disusupi. Apalagi
Golkar di parlemen dan KMP, memiliki populasi yang relatif besar.
Memenangkan
kubu ARB – akan memperkuat KMP di parlemen, meski Ketum Golkar tidak berada
pada posisi puncak di KMP. Koalisi Merah Putih, menjadi alat kontrol yang
efektif dan akurat, dan sewaktu-waktu bisa menjadi teman yang akrab, meski ini
sulit. Tujuan lain KMP untuk menguasi kepala daerah tidak lagi efektif, setelah
Perpu Pemilu direvisi atas tekanan rakyat. KMP dapat saja sewaktu-waktu jadi
blunder politik, begitu kebijakkan pemerintah dihalang-halangi di parlemen.
Namun KMP menjadi daya tawar yang menarik untuk Joko Widodo, untuk menjadi
presidensial yang indenpenden, lepas dari kungkungan politik yang membesarkan
dirinya.
Lalu
dengan memberi kemenangan kepada kubu Agung Laksono, berarti membuka peluang
bagi Golkar, untuk membangun citranya dirinya di mata rakyat. Cara ini
dilakukan dengan melalui kadernya yang saat ini menjadi orang nomor dua di
negeri ini. Posisi Jusuf Kalla sebagai Wapres, sangat strategis untuk membangun
citra partai kuning ini kembali. Apalagi JK memiliki pengalaman sebagai orang
nomor dua, saat menjadi Ketum Golkar. Ini tentu akan menimbulkan ancaman sebuah
manuver politik yang menarik perhatian.
Posisi
Golkar akan menjadi lebih baik, jika dia berada di lingkungan pemerintahan,
dibandingkan harus berada di luar. Selain karena pengalaman, rakyat juga akan
menjadi lebih mudah melihat Golkar dengan berbagai attitudenya, dibandingkan di
parlemen. Walau di bawah panji-panji KMP, Golkar cs menguasai parlemen. Namun
perjuangan Golkar lebih nyata terlihat oleh rakyat, dibandingkan harus berada
di luar. Apalagi banyaknya kader partai kuning ini yang menjadi kepala daerah.
Ini akan memberikan harapan perlindungan bagi kadernya di muka hukum.
Pilihan
ketiga adalah – memerintahkan pimpinan hasil Munas Golkar priode 2009 – 2014 di
Riau – bersama-sama dengan kubu Agung Laksono, untuk kembali menggelar Munas
Golkar – lalu pemerintah (Kemenkumham) hadir sebagai wasitnya. Selama masa
prosesi Munas, personel Kemenkumham tidak boleh tidur, walau sedetikpun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar