Selasa, 09 Juni 2015

KEMELUT DI GOLKAR ( Tinjauan dari sisi hukum )

Rasanya tak ada henti-hentinya gonjang-ganjing politik ditubuh partai Golkar. Pada awalnya saya mempercayai bahwa perpecahan ini adalah hanya upaya setting pangung politik saja untuk bargaining position partai saja dengan pemerintah, seperti drama politik dua kaki yang selama ini di praktekkan oleh Golkar. Namun ternyata dugaan saya keliru seratus persen, ternyata golkar ternyata telah mengalami pergeseran budaya partai dan kepentingan partai. Pada awalnya mereka hanya mempercayai bahwa tidak ada hal yang lebih penting  selain partai golkar itu sendiri, dibanding tentang siapa yang memegang kekuasaan di dalam Golkar. Paradigma itu telah bergeser kepada kepentingan kekuasaan saja, dan telah susah untuk di konsolidasikan antara kepentingan penguasa satu dengan penguasa lainnya di tubuh partai Golkar, dan kini golkar telah turun derajat seperti partai-partai lainnya yang pengurusnya sibuk mengurusi perutnya sendiri-sendiri dibanding kebesaran nama partai golkar sebagai rumah besar.
RMOL. Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Haryono kembali menyatakan kisruh di tubuh Partai Golkar harus dikembalikan kepada putusan Mahkamah Partai Golkar.
Kepastian hukum diperlukan yaitu siapa diantara salah satu pihak adalah pengurus yang sah. Jalan melalui arbitrase masih memerlukan kesediaan kedua belah pihak karena arbitrase biasanya bersifat ad hoc dan perlu penunjukan arbitrator oleh kedua pihak. Mahkamah partai politik merupakan mekanisme terakhir apabila cara opsional tidak mungkin ditempuh lagi oleh kedua belah pihak dengan demikian apa pun hasilnya putusan mahkamah parpol haruslah diterima karena UU memberi sifat final putusan tersebut, res juricata facit ius, kata maxim atau adagium hukum. 

"UU memberikan kedudukan kepada Mahkamah partai politik sebagai lembaga peradilan meskipun Mahkamah parpol tetap otonom lembaga internal partai," ujar Haryono saat dimintai pendapat soal penyelesaian kasua sengketa kepengurusan Partai Golkar, Rabu (6/5).

Menurutnya, pemberian kewenangan sebagai lembaga peradilan dalam sebuah organisasi yang otonom bukanlah hal yang dilarang oleh UUD. Dari sudut pandang mekanisme penyelesaian sengketa, cara demikian dipandang lebih adil dan efisien karena diputuskan dalam komunitasnya sendiri tanpa ikut campurtangannya pihak luar termasuk negara. UU pernah mengakui keberadaan pengadilan adat adalah contoh pemberian kewenangsan otonom untuk penyelesaian perselisihan yang tidak selalu dilakukan oleh peradilan negara. Demikian halnya penyelesaian di luar peradilan dengan cara arbitrase dimana  negara mengakui dan memberikan kekuatan eksekutorial. 
Apabila sifat finalitas keputusan mahkamah partai dipermasalahkan secara hukum, artinya apakah sebuah lembaga internal parpol mempunyai kewenangan yang sama dengan kewenangan peradilan negara yang putusannya bersifat final, maka hal ini tidak menjadi kewenangan PTUN melainkan menjadi masalah konstitusionalitas sebuah UU yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutuskannya.
"Putusan Mahmakah Partai Politik haruslah juga sebagai putusan paksa pengadilan. Hal ini menurut Ahli telah tercermin dalam sifat finalitas dari putusan mahkamah tersebut," jelasnya.
Peradilan negara dalam kasus ini PTUN tidak berwenang untuk menguji putusan Mahmamah partai karena kuasa UU lah yang memberi sifat final putusan mahkamah partai sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 UU No 2/2011, selain itu putusan mahkamah partai bukan merupakan sebuah KTUN. Karena bukan KTUN putusannya secara hipotetis potensi untuk diuji oleh peradilan lain. Dengan demikian secara hipotetis akan terjadi sengketa kewenangan antar peradilan apabila PTUN menguji keputusan mahkamah partai.
Putusan mahkamah partai dalam kasus a quo merupakan putusan  einmalig yang menurut ahli dapat dipadankan dengan putusan sekali tuntas yaitu suatu keputusan yang tidak memerlukan perbuatan hukum lanjutan karena yang diputus adalah  status hukum  kepengurusan yang alternatifnya sah atau tidak sah dan bukan keputusan yang berisi kewajiban untuk melakukan sesuatu.

Ahli berpendapat bahwa putusan sela yang dijatuhkan Majelis Hakim menimbulkan kekusutan hukum. Putusan Majelis menunda pelaksanaan keputusan Menteri Hukum HAM, sedangkan putusan Menteri Hukum HAM bersifat einmalig deklaratoir karena menyangkut status hukum yang tidak memerlukan pelaksanaan putusan, persoalannya perbuatan pelaksanaan apa yang perlu ditunda oleh Menteri Hukum HAM.
Status hukum kepengurusan pihak yang bersengketa hanya dua alternatifnya sah atau tidak sah. Apakah putusan sela tersebut menunda kesahan kepengurusan pihak Agung Laksono. Kalau itu menunda kepengurusan Agung Laksono apakah itu dapat ditafsirkan sebagai mensahkan kepengurusan Aburizal Bakri.
"Kalau pelaksanaan Keputusan Menteri ditunda pelaksanaannya apakah hal itu hanya berarti bahwa pihak Agung Laksono saja yang tidak boleh melakukan aktifitas atas dasar Kuputusan Menteri, sedangkan pihak Aburizal Bakri tidak dilarang. Kalau maksud putusan sela adalah demikian apa dasar hukumnya," tanyanya.
Putusan sela menunda pelaksanaaan Keputusan Menteri Hukum dan HAM lalu bagaimana dengan Keputusan mahkamah partai  bukankah keputusan mahkamah partai mempunyai kekuatan hukum mengikat internal secara final. (vide Pasal 32 (5) UU No 2/2011) . Putusan  Majelis hakim PTUN menurut ahli tidak mempertimbangkan Pasal tersebut. Kalau saja putusan sela bermaksud memposisikan ke dua belah pihak dalam status quo mestinya posisi status quo tersebut adalah status quo sebelum ada Keputusan Menteri, artinya status quo setelah adanya putusan mahkamah partai yang bersifat final.
Kepengurusan Munas Bali tidak dapat secara otomatis mengatasnamakan pengurus yang sah dengan legalitas sebagai pengurus sebelum Munas meskipun susunan kepengurusannya mungkin sama persis karena dengan mendasarkan alasan Munas Bali sah maka kepengurusan Golkar sebelum Munas telah demisioner. Kalau posisi ini yang diambil dan kemudian majelis hakim akan mengambil putusan akhir berdasarkan keadaan sebelum adanya putusan mahkamah partai apakah kemudian PTUN berwenang untuk memutuskan perselisihan tersebut,   bukankah pintu masuk kewenangan PTUN karena adanya keputusan  Menteri.

Pertimbangan majelis hakim tidak dapat dilakukan secara umum abstrak dan atas dasar kekhawatiran subjektif  belaka tetapi harus mempertimbangkan hal yang konkrit dan individual dari setiap perkara yang diperiksa.
Pilihan Strategis bagi Golkar ke Depan
Disadari atau tidak, sesungguhnya vonis Majelis Hakim Partai Golkar – beranggotakan 4 orang hakim – tidak ganjil — menerima sebagian permohonan kedua kubu yang berselisih itu, adalah keputusan yang cerdik dan cerdas. Vonis itu seperti membuang begitu saja bola panas ke Kemenkumham, selaku lembaga hukum positif. Mahkamah partai, berupaya menggunakan palu pemerintah, untuk memutuskan pemenangnya. Keputusan seri atau sama kuat ini, sesungguhnya tidak memberi surprise apa-apa bagi pemerintahan Jokowi.
Begitu juga terhadap wakilnya, Jusuf Kalla. Kecuali itu, vonis ini menambah lamanya waktu penyelesaian konflik. Begitu juga terhadap peluang voice dan besar kecilnya dampak keuntungan dari suatu kemelut partai sekelas Golkar. Belum adanya keputusan final yang mengikat, menyebabkan energy para elite dan kadernya kian terkuras. Ini tak cuma hanya di pusat, melainkan juga di daerah.
Yasin Muhammad menjelaskan, keputusan MPG secara jelas menyatakan tidak ada yang dimenangkan dan tidak ada yang dikalahkan. Karena itu jalan terbaik adalah dengan islah dan menggelar Munas rekonsiliasi untuk kembali bersatu dan membesarkan partai.
“Kubu ARB dan Agung Laksono harus menempuh jalan islah demi kebesaran Golkar,” sarannya.
Yasin menghimbau, para tokoh senior Golkar seperti Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla, juga mantan Presiden BJ Habibie untuk ikut mendamaikan kedua kubu yang terus berseteru. “Jika konflik terus dikedepankan, Golkar yang akan merugi,” pungkas Yasin.
Mari kita bahas dalam ruang yang sempit ini, tentang untung dan ruginya partai Golkar, jika pengadilan tingkat kasasi MA, memenangkan salah satu pihak yang bertikai. Namun sebelum kita masuk pada bahasan itu, ada lebih baiknya, kita lihat tentang partai tua ini.
Golkar adalah partai besar, dengan segudang pengalaman di pemerintahan. Memiliki ketajaman visi dan sumber daya yang handal di perpolitikan tanah air. Banyak kalangan menilai, perpolitikan di Indonesia, tidak ada arti sama sekali, tanpa adanya partai Golkar. Kader-kader partai tua ini, adalah pembaharu, meski berada di lingkungan penguasa yang silih berganti. Itu sebabnya, kemelut yang terjadi di tubuh partai ini, menjadi hal yang menarik untuk disusupi. Apalagi Golkar di parlemen dan KMP, memiliki populasi yang relatif besar.
Memenangkan kubu ARB – akan memperkuat KMP di parlemen, meski Ketum Golkar tidak berada pada posisi puncak di KMP. Koalisi Merah Putih, menjadi alat kontrol yang efektif dan akurat, dan sewaktu-waktu bisa menjadi teman yang akrab, meski ini sulit. Tujuan lain KMP untuk menguasi kepala daerah tidak lagi efektif, setelah Perpu Pemilu direvisi atas tekanan rakyat. KMP dapat saja sewaktu-waktu jadi blunder politik, begitu kebijakkan pemerintah dihalang-halangi di parlemen. Namun KMP menjadi daya tawar yang menarik untuk Joko Widodo, untuk menjadi presidensial yang indenpenden, lepas dari kungkungan politik yang membesarkan dirinya.
Lalu dengan memberi kemenangan kepada kubu Agung Laksono, berarti membuka peluang bagi Golkar, untuk membangun citranya dirinya di mata rakyat. Cara ini dilakukan dengan melalui kadernya yang saat ini menjadi orang nomor dua di negeri ini. Posisi Jusuf Kalla sebagai Wapres, sangat strategis untuk membangun citra partai kuning ini kembali. Apalagi JK memiliki pengalaman sebagai orang nomor dua, saat menjadi Ketum Golkar. Ini tentu akan menimbulkan ancaman sebuah manuver politik yang menarik perhatian.
Posisi Golkar akan menjadi lebih baik, jika dia berada di lingkungan pemerintahan, dibandingkan harus berada di luar. Selain karena pengalaman, rakyat juga akan menjadi lebih mudah melihat Golkar dengan berbagai attitudenya, dibandingkan di parlemen. Walau di bawah panji-panji KMP, Golkar cs menguasai parlemen. Namun perjuangan Golkar lebih nyata terlihat oleh rakyat, dibandingkan harus berada di luar. Apalagi banyaknya kader partai kuning ini yang menjadi kepala daerah. Ini akan memberikan harapan perlindungan bagi kadernya di muka hukum.
Pilihan ketiga adalah – memerintahkan pimpinan hasil Munas Golkar priode 2009 – 2014 di Riau – bersama-sama dengan kubu Agung Laksono, untuk kembali menggelar Munas Golkar – lalu pemerintah (Kemenkumham) hadir sebagai wasitnya. Selama masa prosesi Munas, personel Kemenkumham tidak boleh tidur, walau sedetikpun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar