Selasa, 09 Juni 2015

Heboh Beras Plastik ( Tinjauan dari Perlindungan Hak Asasi Rakyat)

Hasil uji laboratorium yang dilakukan Sucofindo membuktikan kebenaran beras plastik, namun hal ini berbeda dengan Penelitian Puslabfor Mabes Polri yang menyebut tidak ada bahan plastik pada sampel beras yang sebelumnya disebut-sebut mengandung beras sintetis. Hal ini akhirnya berbuntut dengan dipolisikannya Dewi Septiani, pelapor beras plastik.
Tindakan aparat ini disayangkan berbagai pihak, salahsatunya disuarakan oleh Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM).
PAHAM sebut jangan sampai temuan tersebut membuat pelapor Dewi Septiani trauma, apalagi sampai merasa menerima intimidasi dari aparat.
“Bila hal ini terjadi, orang akan cenderung abai dan tidak mau melapor apabila melihat sebuah kejahatan,” tegas Sekjend Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (Paham), Rozaq Asyhari, dalam siaran persnya (Kamis, 28/5).
Dia mengungkapkan, apa yang dilakukan Ibu Dewi adalah tindakan konsumen yang baik. Itu adalah upaya preventif untuk menghindarkan masyarakat dari bahaya buruk bahan makanan yang diduga dari platik. Oleh karenanya, langkah waspada yang demikian harus dicontoh oleh anggota masyarakat lainnya.
“Bahwa yang dilakukan oleh Dewi Septiani adalah early warning, yang seharunya merupakan kewajiban apparat terkait untuk menindaklanjuti,” ungkapnya.
PAHAM menyayangkan adanya dugaan intimidasi yang dialami oleh Ibu Dewi. Karena yang dilakukan Ibu Dewi sudah sesuai dengan ketentuan pasal 165 KUHP. Dimana ada kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan kepada polisi jika mengetahui terjadinya suatu tindak kejahatan. Walaupun dalam Pasal 165 KUHP tersebut hanya disebutkan beberapa pasal tindak kejahatan.

“Namun secara umum, hal ini merupakan suatu upaya untuk mencegah terjadinya suatu tindak kejahatan,” terang kandidat Doktor dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Karena itu PAHAM mendorong agar Kapolri memberikan penghargaan kepada Dewi Septiani dan memberikan sanksi kepada oknum yang diduga mengintimidasi.
“Saya rasa layak Pak Badrodin Haiti memberikan penghargaan kepada Bu Dewi. Karena sebagai warga negara yang baik telah memberikan laporan sebagai bentuk kewaspadaan sesuai dengan ketentuan pasal 165 KUHP. Hal ini untuk merangsang agar masyarakat peduli dengan persoalan hukum yang ada di sekitarnya. Disisi lain, apabila memang terbukti ada oknum aparat yang melakukan intimidasi selayaknya pula Kapolri berikan teguran atau sanksi”, tegasnya.
Kriminalisasi dan pembongkaran aib pemerintahan memang sangat beresiko bagi kalangan rakyat terjajah, seperti pelapor beras plastik Dewi Nurriza Septiani. Beliau memberikan laporan tentang adanya beras yang berasal dari bahan plastik yang sekarang “Katanya” menteri pertanian periode kabinet Joko Widodo, Andi Arman Sulaiman meminta penjelasan pelapor tentang beras plastik yang “Katanya” tidak ada, Menteri mempertegas kepada pelapor harus mempertanggung jawabkan atas isu beras plastik yang terlanjur tersebar luas di Indonesia kepada pihak berwajib karena mengundang keresahan dan ditakutkan adanya ketidakpercayaan objek pasar yakni pembeli.
Legitimasi undang – undang telah mewariskan namanya kebebasan berpartisipasi terutama subjek masyarakat dalam membantu upaya penegakkan hukum Indonesia. Apa yang dilakukan oleh Ibu Dewi dengan menyebarkan kabar beras plastik sebagai langkah implementasi atau aktualisasi partisipasi masyarakat dalam berhukum.
Memang lucu negara Indonesia, rakyatlah yang menanggung resiko ketika mereka berpartisipasi. Apalagi sebuah masalah ringan dari masyarakat yang diperdebatkan dengan membandingkan permasalahan besar dari kesalahan pemerintahan :
  1. Pemerintah yang tidak bisa mengotrol harga – harga yang melangit dampak dari pencabutan Subsidi BBM dan peletakkan harga BBM melalui mekanisme pasar bebas yang belum tentu grafik naik maupun stabil.
  2. Pemerintah tidak mampu memberikan sifat proteksional bagi partisipasi,kaula maupun subjek kemampuan masyarakat. Sehingga, masyarakat terasa terancam akan hal kejahatan atas kemiskinan dan hukum yang tidak berimbang
  3. Pemerintah masih belum bisa membuat hukum yang berimbang bagi masyarakat.
Namun kali ini, ketika Ibu Dewi yang rela secara moral dan etika membantu mengungkapkan kejahatan dengan memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia tentang kejahatan beras plastik “JUSTRU” dituduh membuat keresahan dan harus di penjara. Apakah ada konsep menutupi produsen Beras yang plastik ? atau memang pemerintah Indonesia merasa malu dengan aibnya? 
Di samping fakta-fakta minim tentang kebenaran isu tersebut, ada baiknya bila kita mencoba melihat beberapa fakta dari sudut pandang berbeda.
Pertama, beberapa hari sebelum penjual bubur bernama Dewi Septiani mengung­gah ceritanya, isu tentang “beras plastik” su­dah ramai beredar terlebih dahulu di kalangan netizen, lengkap dengan investi­gasi berupa bukti rekaman video “pabrik be­ras plastik” yang ternyata belakangan banyak dibantah oleh para netizen lain yang kritis. Soalnya, pabrik dan mesin yang di-videokan ternyata adalah pabrik pengolahan daur ulang plastik biasa. Dan kebetulan plastik daur ulang selalu dibuat penyelesaian akhirnya berupa pelet yang ukurannya hampir sama dengan butiran beras. Jadi, ada indikasi pembohongan dan pembodohan publik dari penyebaran video ini.
Mudah Melacak
Kedua,  fakta penemuan penjualan beras ha­nya masih pada sebuah kios kecil, namun beritanya sudah sedemikian heboh secara nasional, sampai-sampai menutupi berita Menteri ESDM yang harusnya lebih po­puler. Dan bila benar kios tersebut menjual “beras plastik”, seharusnya pihak kepolisi­an akan dapat dengan mudah me­lacak asal usul pema­soknya, dan menemu­kan biang keladi dari semua kehebohan ini.
Bukankah tindakan mencampur “ra­cun” dalam makanan pokok dengan unsur kesengajaan, dan mengakibatkan ke­re­sahan masya­rakat termasuk tindakan yang masuk dalam kategori kejahatan berat. Bila benar, seharusnya negara harus tampil le­bih all-out dalam penyelidikannya. Tidak bisa lagi hanya mengandalkan polisi lokal dan walikota Bekasi.
Ketiga, opini diarahkan ke kesimpulan bah­wa kejahatan ini adalah semata-mata men­­cari keun­tungan materi.  Hasil pene­lu­suran secara acak, harga satu kilogram pelet plas­tik daur ulang yang termurah adalah se­kitar Rp 12.500, (sumber : www.biji­plas­­tik­indonesia.com) dan harga tersebut je­las sudah di atas harga beras yang dibeli oleh penjual bubur, konon dibeli seharga Rp 8.000 per liter. Per­tanyaannya, apakah ada  pengusaha se­bo­doh ini ?  (Bila Anda me­ne­mukan penjual beras yang masih men­jual “be­ras plastik” se­harga Rp 8.000 per kg, si­lahkan borong dan jual ke pedagang plastik, di­jamin Anda untung besar).
Keempat, peliputan media massa atas pendapat ahli masih berkutat di per­soalan kimiawi dan kedokteran. Sang “ahli kimia” dengan lugas men­jelaskan kandungan kimiawi dengan istilah-istilah yang membuat rakyat je­lata mengeryitkan kening dan semakin ngeri, karena tidak mengerti. Lalu ada ahli penyakit yang menambah seram cerita ini dengan hipotesisnya bahwa “beras plastik” ini bisa mengakibatkan kemandulan pada pria (alias impo­tensi).
Wajar bila bapak-bapak yang mem­baca berita ini menjadi kalang kabut. Beruntung ada ulasan Dr Asmuwahyo S.  Seorang pakar polimer dari Universitas Indonesia (Analisa, 23 Mei 2015) yang mempertanyakan hasil penelitian Sucofindo yang tidak secara tegas mem­beri kesimpulan apakah beras tersebut adalah plastik atau sekadar terkontaminasi bahan plastik.
Konteks penelitian tidak mem­beri­kan jawaban kepada masyarakat awam. Semestinya ada pihak berkom­peten yang memberikan kesimpulan untuk disampaikan kepada masya­rakat yang sedang bingung.
Hal yang lebih urgensi seharusnya adalah memastikan pola penyebaran “beras plastik” ini sudah sampai di mana ? Pola kejahatan ini  dapat dikate­gorikan pada bobot seberat apa menurut pakar kriminal ?
Mengapa media massa yang rajin mengekspos berita ini sepertinya tidak ada yang ber­upaya menginvestigasi asal usul be­ras, serta  fungsi kontrol oleh peme­rin­tah dengan mewawan­carai si pemilik toko,polisi, Balai POM, Departemen Perdagangan atau instansi terkait lainnya ?
Jangan-jangan isu beras plas­tik sengaja dise­barkan orang tertentu untuk mengalihkan kasus-kasus besar yang sedang ditangani pemerintah.
Faktanya memang sangat kecil. Be­ras sistetis ini baru ditemukan di salah satu kios kecil di Bekasi. Namun isu ini hebohnya luar biasa. Sepertinya ada unsur kesengajaan menghem­bus­kan isu ini untuk meresahkan masya­rakat. Ibarat memandang cacing seperti melihat seekor naga.
Kelima, berita-berita mengenai ke­khawatiran beras plastik akan disusup­kan ke beberapa pasar di daerah Jawa Barat sangat tidak berdasar, karena ti­d­ak ada penyebutan asal-usul infor­masi, dan tidak memikirkan dampak­nya bagi rakyat kecil yang minim in­formasi resmi.
Melecehkan Negara

Foto konsumen yang mencium beras untuk memastikan beras asli atau palsu sungguh menampar wajah pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung konsumen.  Berita-berita tersebut sea­kan-akan ingin menyam­paikan kepada kita semua bahwa fungsi pemerintah, baik sipil, kepolisian, Badan Intelijen Negara, TNI dan instansi lainnya se­akan-akan tidak bekerja.
Berita se­macam ini jelas bukan untuk fungsi kontrol sosial kepa­da pemerintah, tapi sudah merupakan pelecehan kepada negara dan bangsa.
Dari beberapa fakta di atas, tentu saja terselip harapan masyarakat kita akan semakin kritis dan bijak dalam me­nyikapi setiap arus informasi yang masuk ke ranah kehidupan kita. Arus informasi sudah tidak terbendung lagi di era internet ini. Yang dapat kita la­kukan adalah bagaimana cara me­milahnya dan bertanggung jawab atas semua hal yang kita terima dan dise­barkan kembali.
Memang saat ini adalah zaman ke­bebasan menyatakan pendapat yang pa­ling bebas dalam sejarah Republik ini, tapi jadikanlah kebebasan ini untuk menuju masyarakat yang lebih ber­mar­tabat dan berkarakter. Jangan me­nyebarkan berita yang belum jelas ke­benarannya. nda juga memiliki ke­bebasan yang paling berharga, yakni pilihlah media massa yang memegang teguh integritas dan bertanggung ja­wab. 
http://blog.asanamah.com/2015/05/pemerintah-seharusya-beri-penghargaan-kepada-pelapor-beras-plastik-bukan-intimidasi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar