Tindakan
aparat ini disayangkan berbagai pihak, salahsatunya disuarakan oleh Pusat
Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM).
PAHAM
sebut jangan sampai temuan tersebut membuat pelapor Dewi Septiani trauma,
apalagi sampai merasa menerima intimidasi dari aparat.
“Bila
hal ini terjadi, orang akan cenderung abai dan tidak mau melapor apabila
melihat sebuah kejahatan,” tegas Sekjend Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi
Manusia Indonesia (Paham), Rozaq Asyhari, dalam siaran persnya (Kamis, 28/5).
Dia
mengungkapkan, apa yang dilakukan Ibu Dewi adalah tindakan konsumen yang baik.
Itu adalah upaya preventif untuk menghindarkan masyarakat dari bahaya buruk
bahan makanan yang diduga dari platik. Oleh karenanya, langkah waspada yang
demikian harus dicontoh oleh anggota masyarakat lainnya.
“Bahwa
yang dilakukan oleh Dewi Septiani adalah early
warning, yang seharunya merupakan kewajiban apparat terkait untuk
menindaklanjuti,” ungkapnya.
PAHAM
menyayangkan adanya dugaan intimidasi yang dialami oleh Ibu Dewi. Karena yang
dilakukan Ibu Dewi sudah sesuai dengan ketentuan pasal 165 KUHP. Dimana ada
kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan kepada polisi jika mengetahui
terjadinya suatu tindak kejahatan. Walaupun dalam Pasal 165 KUHP tersebut hanya
disebutkan beberapa pasal tindak kejahatan.
“Namun secara umum, hal ini merupakan suatu upaya untuk mencegah terjadinya suatu tindak kejahatan,” terang kandidat Doktor dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Karena
itu PAHAM mendorong agar Kapolri memberikan penghargaan kepada Dewi Septiani
dan memberikan sanksi kepada oknum yang diduga mengintimidasi.
“Saya
rasa layak Pak Badrodin Haiti memberikan penghargaan kepada Bu Dewi. Karena
sebagai warga negara yang baik telah memberikan laporan sebagai bentuk
kewaspadaan sesuai dengan ketentuan pasal 165 KUHP. Hal ini untuk merangsang
agar masyarakat peduli dengan persoalan hukum yang ada di sekitarnya. Disisi
lain, apabila memang terbukti ada oknum aparat yang melakukan intimidasi
selayaknya pula Kapolri berikan teguran atau sanksi”, tegasnya.
Kriminalisasi dan pembongkaran aib
pemerintahan memang sangat beresiko bagi kalangan rakyat terjajah, seperti
pelapor beras plastik Dewi Nurriza Septiani. Beliau memberikan laporan tentang
adanya beras yang berasal dari bahan plastik yang sekarang “Katanya” menteri
pertanian periode kabinet Joko Widodo, Andi Arman Sulaiman meminta
penjelasan pelapor tentang beras plastik yang “Katanya” tidak ada, Menteri
mempertegas kepada pelapor harus mempertanggung jawabkan atas isu beras plastik
yang terlanjur tersebar luas di Indonesia kepada pihak berwajib karena
mengundang keresahan dan ditakutkan adanya ketidakpercayaan objek pasar yakni
pembeli.
Legitimasi undang – undang telah
mewariskan namanya kebebasan berpartisipasi terutama subjek masyarakat dalam
membantu upaya penegakkan hukum Indonesia. Apa yang dilakukan oleh Ibu Dewi
dengan menyebarkan kabar beras plastik sebagai langkah implementasi atau
aktualisasi partisipasi masyarakat dalam berhukum.
Memang lucu negara Indonesia,
rakyatlah yang menanggung resiko ketika mereka berpartisipasi. Apalagi sebuah
masalah ringan dari masyarakat yang diperdebatkan dengan membandingkan
permasalahan besar dari kesalahan pemerintahan :
- Pemerintah yang tidak bisa mengotrol harga – harga yang melangit dampak dari pencabutan Subsidi BBM dan peletakkan harga BBM melalui mekanisme pasar bebas yang belum tentu grafik naik maupun stabil.
- Pemerintah tidak mampu memberikan sifat proteksional bagi partisipasi,kaula maupun subjek kemampuan masyarakat. Sehingga, masyarakat terasa terancam akan hal kejahatan atas kemiskinan dan hukum yang tidak berimbang
- Pemerintah masih belum bisa membuat hukum yang berimbang bagi masyarakat.
Namun kali ini, ketika Ibu Dewi yang
rela secara moral dan etika membantu mengungkapkan kejahatan dengan memberikan
informasi kepada masyarakat Indonesia tentang kejahatan beras plastik “JUSTRU”
dituduh membuat keresahan dan harus di penjara. Apakah ada konsep menutupi
produsen Beras yang plastik ? atau memang pemerintah Indonesia merasa malu
dengan aibnya?
Di
samping fakta-fakta minim tentang kebenaran isu tersebut, ada baiknya bila kita
mencoba melihat beberapa fakta dari sudut pandang berbeda.
Pertama,
beberapa hari sebelum penjual bubur bernama Dewi Septiani mengunggah ceritanya,
isu tentang “beras plastik” sudah ramai beredar terlebih dahulu di kalangan
netizen, lengkap dengan investigasi berupa bukti rekaman video “pabrik beras
plastik” yang ternyata belakangan banyak dibantah oleh para netizen lain yang
kritis. Soalnya, pabrik dan mesin yang di-videokan ternyata adalah pabrik
pengolahan daur ulang plastik biasa. Dan kebetulan plastik daur ulang selalu
dibuat penyelesaian akhirnya berupa pelet yang ukurannya hampir sama dengan
butiran beras. Jadi, ada indikasi pembohongan dan pembodohan publik dari
penyebaran video ini.
Mudah
Melacak
Kedua,
fakta penemuan penjualan beras hanya masih pada sebuah kios kecil, namun
beritanya sudah sedemikian heboh secara nasional, sampai-sampai menutupi berita
Menteri ESDM yang harusnya lebih populer. Dan bila benar kios tersebut menjual
“beras plastik”, seharusnya pihak kepolisian akan dapat dengan mudah melacak
asal usul pemasoknya, dan menemukan biang keladi dari semua kehebohan ini.
Bukankah
tindakan mencampur “racun” dalam makanan pokok dengan unsur kesengajaan, dan
mengakibatkan keresahan masyarakat termasuk tindakan yang masuk dalam
kategori kejahatan berat. Bila benar, seharusnya negara harus tampil lebih all-out
dalam penyelidikannya. Tidak bisa lagi hanya mengandalkan polisi lokal dan
walikota Bekasi.
Ketiga,
opini diarahkan ke kesimpulan bahwa kejahatan ini adalah semata-mata mencari
keuntungan materi. Hasil penelusuran secara acak, harga satu kilogram
pelet plastik daur ulang yang termurah adalah sekitar Rp 12.500, (sumber : www.bijiplastikindonesia.com)
dan harga tersebut jelas sudah di atas harga beras yang dibeli oleh penjual
bubur, konon dibeli seharga Rp 8.000 per liter. Pertanyaannya, apakah
ada pengusaha sebodoh ini ? (Bila Anda menemukan penjual beras
yang masih menjual “beras plastik” seharga Rp 8.000 per kg, silahkan borong
dan jual ke pedagang plastik, dijamin Anda untung besar).
Keempat,
peliputan media massa atas pendapat ahli masih berkutat di persoalan kimiawi
dan kedokteran. Sang “ahli kimia” dengan lugas menjelaskan kandungan kimiawi
dengan istilah-istilah yang membuat rakyat jelata mengeryitkan kening dan
semakin ngeri, karena tidak mengerti. Lalu ada ahli penyakit yang menambah
seram cerita ini dengan hipotesisnya bahwa “beras plastik” ini bisa
mengakibatkan kemandulan pada pria (alias impotensi).
Wajar
bila bapak-bapak yang membaca berita ini menjadi kalang kabut. Beruntung ada
ulasan Dr Asmuwahyo S. Seorang pakar polimer dari Universitas Indonesia (Analisa,
23 Mei 2015) yang mempertanyakan hasil penelitian Sucofindo yang tidak secara
tegas memberi kesimpulan apakah beras tersebut adalah plastik atau sekadar
terkontaminasi bahan plastik.
Konteks
penelitian tidak memberikan jawaban kepada masyarakat awam. Semestinya ada pihak
berkompeten yang memberikan kesimpulan untuk disampaikan kepada masyarakat
yang sedang bingung.
Hal
yang lebih urgensi seharusnya adalah memastikan pola penyebaran “beras plastik”
ini sudah sampai di mana ? Pola kejahatan ini dapat dikategorikan pada
bobot seberat apa menurut pakar kriminal ?
Mengapa
media massa yang rajin mengekspos berita ini sepertinya tidak ada yang berupaya
menginvestigasi asal usul beras, serta fungsi kontrol oleh pemerintah
dengan mewawancarai si pemilik toko,polisi, Balai POM, Departemen Perdagangan
atau instansi terkait lainnya ?
Jangan-jangan
isu beras plastik sengaja disebarkan orang tertentu untuk mengalihkan
kasus-kasus besar yang sedang ditangani pemerintah.
Faktanya
memang sangat kecil. Beras sistetis ini baru ditemukan di salah satu kios
kecil di Bekasi. Namun isu ini hebohnya luar biasa. Sepertinya ada unsur
kesengajaan menghembuskan isu ini untuk meresahkan masyarakat. Ibarat
memandang cacing seperti melihat seekor naga.
Kelima,
berita-berita mengenai kekhawatiran beras plastik akan disusupkan ke beberapa
pasar di daerah Jawa Barat sangat tidak berdasar, karena tidak ada penyebutan
asal-usul informasi, dan tidak memikirkan dampaknya bagi rakyat kecil yang
minim informasi resmi.
Foto
konsumen yang mencium beras untuk memastikan beras asli atau palsu sungguh
menampar wajah pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung konsumen.
Berita-berita tersebut seakan-akan ingin menyampaikan kepada kita semua bahwa
fungsi pemerintah, baik sipil, kepolisian, Badan Intelijen Negara, TNI dan
instansi lainnya seakan-akan tidak bekerja.
Berita
semacam ini jelas bukan untuk fungsi kontrol sosial kepada pemerintah, tapi
sudah merupakan pelecehan kepada negara dan bangsa.
Dari
beberapa fakta di atas, tentu saja terselip harapan masyarakat kita akan
semakin kritis dan bijak dalam menyikapi setiap arus informasi yang masuk ke
ranah kehidupan kita. Arus informasi sudah tidak terbendung lagi di era
internet ini. Yang dapat kita lakukan adalah bagaimana cara memilahnya dan
bertanggung jawab atas semua hal yang kita terima dan disebarkan kembali.
Memang
saat ini adalah zaman kebebasan menyatakan pendapat yang paling bebas dalam
sejarah Republik ini, tapi jadikanlah kebebasan ini untuk menuju masyarakat
yang lebih bermartabat dan berkarakter. Jangan menyebarkan berita yang belum
jelas kebenarannya. nda juga memiliki kebebasan yang paling berharga, yakni
pilihlah media massa yang memegang teguh integritas dan bertanggung jawab.
http://blog.asanamah.com/2015/05/pemerintah-seharusya-beri-penghargaan-kepada-pelapor-beras-plastik-bukan-intimidasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar